Senin, 10 Juni 2013

Realitas Pembagian Cinta dalam Pernikahan

 
Realitas Pembagian Cinta dalam Pernikahan: Ketika sepasang kekasih menjalin sebuah ikrar hubungan cinta (kalau istilah anak mudanya ya ‘jadian’). Pasangan tersebut merasa memiliki dunia. Saking bahagianya. Namun sesungguhnya ikrar cinta ini belum disebut cinta, karena cinta yang sesungguhnya terlihat setelah melalui ujian demi ujian dalam perjalanan mengarungi hubungan ini. 

Ujian yang paling prinsipil adalah ujian datangnya orang ketiga. Anda yang sedang membaca tulisan ini saya kira mengakui bahwa ujian paling berat dalam kisah cinta adalah kedatangan cinta lain di tengah kisah kita dengan pasangan yang kita cintai. Saking prinsipil dan beratnya masalah ini, tidak
sedikit pasangan yang mengakhiri hubungannya karena merasa tidak ada lagi hal berharga yang bisa diandalkan dalam percintaan mereka.

Tidak hanya dalam pacaran, orang ke tiga juga terjadi dalam ikatan pernikahan. Kedatangan orang ke tiga dalam pernikahan merupakan masalah yang lebih besar daripada kehadiran orang ke tiga dalam masa pacaran. Karena tidak hanya menyangkut perasaan, tetapi juga menyangkut penghargaan. Dalam pernikahan, cinta adalah elemen paling primer dalam mendayung bahtera rumah tangga. Tanpa adanya cinta, rumah tangga layaknya kendaraan tanpa bahan bakar, atau layaknya tubuh tanpa energi. Hal tersebut dikarenakan pernikahan itu adalah serangkaian tanggungjawab, ikatan keluarga (dari banyak pihak), keberlanjutan generasi, dan sebaginya. 

Dalam menjalani semua itu membutuhkan kekuatan dan motivasi yang tidaklah kecil. Motivasi tersebut tidak lain adalah cinta. Saat cinta ini terganggu oleh kehadiran pihak ketiga, seakan pernikahan kehilangan ruhnya. Perasaan seperti ada bagian tubuh yang dipaksa untuk dilepas. Sobat bisa membayangkan sendiri rasanya...... kurang lebih seperti itu mungkin, hehe. Aduh malah bahas perasaan. Baiklah, tapi itulah yang menyangkut cinta, selalu saja kita membahas perasaan. Iya kan Kawan? 

Selain perasaan, juga berkaitan dengan penghargaan. Ketika pasangan memiliki keintiman dengan wanita/pria lain (keintiman hati/selingkuh) maka muncul rasa tidak dihargai atas tanggungjawab yang telah dipikul selama pernikahan. Bagaimana tidak, cinta yang begitu diagungkan, begitu saja diambil alih pihak lain yang sama sekali tidak memiliki beban tanggungjawab hubungan sama sekali. 

Orang ketiga biasanya hanya memperoleh cinta, namun tidak mendapat tanggungjawab seperti halnya pasangan resmi kita. Saya tidak asal bicara. Realitas kasusnya banyak terjadi pada beberapa (maaf) pengajar di perguruan tinggi di Kota tempat saya tinggal. Dengan kondisi sering bertemu dengan mahasiswi-mahasiswi cantik, dari mata turun ke hati, kemudian cinta pun bersemi di hati sang pengajar. 

Tidak hanya di hati, yang namanya cinta pasti meluap ke luar dalam bentuk tindakan. Menurut saya, rasa cinta itu lebih besar daripada ukuran hati manusia. Jadi jika ada cinta di hati akan sulit untuk di tutupi. Nampak jelas tindakan mereka, dengan aktivitas telefonan dengan mahasiswinya dengan kemesraan tertentu, atau makan berdua di restaurant, dan ada yang sampai mengungkapkannya dalam bentuk kata-kata. 

Misalnya meminta si mahasiswi jalan malam mingguan, atau sampai ada yang diminta untuk menjadi istri ke dua. Contoh lainnya dengan adanya kasus terhangat baru-baru ini, kasus tersangka korupsi impor daging, yang memberikan sejumlah barang (mobil, uang, dan elektronik mahal, kalau gak salah) pada beberapa wanita cantik. Saya kira, kalau mau sedekah, kenapa tidak disalurkan pada fakir-miskin yang membutuhkan. Menurut saya, tidak lain itu karena unsur cinta.

Dari dua contoh di atas, wanita-wanita idaman lain itu sangat mendapat posisi dan perlakuan yang menguntungkan. Pertama, tidak memiliki tanggungjawab untuk memelihara cinta dan memperjuangkannnya demi hal berharga lainnya seperti pembangunan keluarga, anak, imej di hadapan masyarakat dan orang tua, dan sebagainya. Kedua, bisa memperoleh perhatian dari pria tersebut (dicintai itu sangat menyenangkan) dan mendapat fasilitas tertentu. Ketiga, tidak ada beban memenej hubungan. Si wanita masih bebas mencintai pria lain, masih bebas pergi ke manapun tanpa harus izin dari si pria. Dan beberapa keuntungan lainnya. 

Makanya bila ada orang lajang digodai oleh banyak lawan jenis, biasanya disarankan untuk menikah. Alasannya supaya gak digoda lagi. Kalau kata orang-orang, “Jangan goda dia, udah punya istri! Hormati istrinya di rumah!” Begitulah, dalam kehidupan budaya masyarakat pun pasangan resmi (istri/suami) selalu erat kaitannya dengan penghormatan, dan sakralitas. Karena yang menyatukan kita dengan istri/suami adalah Agama, Negara, Hati, Misi Peradaban (keturunan dan menjadi bagian dari masyarakat), dan TUHAN. Dan kemuliaan ini di dalamnya (seperti tadi disebutkan), ada tanggungjawab yang tidaklah ringan. Begitu mulia dan sakralnya pernikahan, sehingga dalam agama pun, seorang istri harus mendahulukan izin suaminya ketimbang orang tuanya. Tanggungjawab dalam pernikahan memerlukan energi untuk selalu bertahan dalam segala kondisi, yaitu CINTA. 

Karena itu, jika sepasang Adam dan Hawa yang hendak memutuskan untuk menikah, saat itu pula hendaknya mereka tidak lagi bermain-main dengan cinta... Setujukah Sobat? Bagimana menurut Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar